CERITA DARI PALU (1)

Minggu, 11 Mei 2014. Kami beranjak dari Palu Hotel City ketika film Here Comes The Boom di HBO usai.

Film komedi inspiratif itu mengisahkan Scott Voss, guru pelajaran Biologi, yang menyelamatkan acara musik sekolahnya dari kekurangan dana dengan cara tak biasa. Dia rela bertarung pada sebuah acara televisi untuk mendapatkan uang.

Meski sebagai debutan, guru 42 tahun itu sukses membuat sang penantang profesional pingsan pada ronde terakhir. Padahal dua ronde sebelumnya, Voss babak belur dihajar rival.

Film itu usai, kami bergegas meninggalkan hotel. Semua barang kami angkat lagi ke mobil. Pak Taufik mengajak ke warung, minum kopi dan sarapan.

Jadwal hari ini adalah menikmati Minggu di Palu. Saya dan Pak Taufik ke Mal Tatura. Berpisah dari Wandi, Sandi, dan Ogi yang hendak berkeliling kota mencari sesuatu.

"Beli sandal dulu," kata Pak Taufik sambil melihat sepatu kulit yang dia pakai sejak dari Makassar. Saya mengiyakan. Kami ke lantai tiga dan mendapatkan incaran.

Pak Taufik langsung memakai sandal barunya, lalu menaruh sepatu dalam kantong plastik. Kami singgah sejenak menengok atrium mal dari atas. Tampak orkes dangdut menghibur pengunjung.

"Dik, coba liat, wanita yang main piano itu sepertinya down syndrome. Biasanya, yang down syndrome begitu, hebat dalam bidangnya," kata Pak Taufik mengamati. Saya tak meragukan itu.

Kata-kata Pak Taufik mengingatkan saya pada Lionel Messi. Messi adalah pesepakbola asal Rosario, Argentina, yang sudah empat kali menjadi pemain terbaik dunia. Dia jenius di atas rumput meski mengalami abnormalitas perkembangan kromosom sejak belia.

"Ayo, kita ke sana," ajak Pak Taufik bergeser dari atrium. Rupanya Pak Taufik ingin dipijat santai di tempat refleksi. Perjalanan darat dari Makassar memang membuat badan terasa kaku. Pijat adalah pilihan tepat untuk melenturkan kembali otot yang masih tegang.

Sayangnya, saya termasuk lelaki yang tidak terbiasa dipijat. Saya kikuk dengan urusan itu. "Saya tunggu di luar saja, Pak. Di sini santai sambil menulis." Saya menjawab ajakan Pak Taufik. Untungnya, ayah lima anak itu setuju.

Sembari menunggu, saya membuka handphone lalu merangkai kata demi kata di atas screen. Setelah itu, saya pergi membeli nomor perdana provider yang berfungsi di Palu. Nomor lalu saya titip. "Kalau bapak yang gondrong itu sudah selesai, tolong kasih ini." Saya menyodorkan selembar kertas kecil pada pelayan kemudian kembali ke mal.

Satu setengah jam berselang, urusan Pak Taufik kelar. Kami kemudian ke kafe area smoking sambil menunggu dijemput Wandi cs.

Di kafe itu, Pak Taufik bercerita banyak soal perjalanan kariernya sebagai konsultan politik delapan tahun belakangan. Pengalaman paling dramatis ketika dia berhadapan dengan maut di tengah laut Selat Banda, Maluku Tenggara Barat (kisah itu akan saya paparkan di bagian lain tulisan ini).

Langit Palu sudah sore saat kami memutuskan untuk beranjak. Bumi Palupy Hotel adalah tujuan dan tempat menginap berikutnya.

Di kamar, Pak Taufik menyalakan televisi. Beberapa menit kemudian, setelah menggonta-ganti channel, terlihat Tri #Rismaharini marah-marah dalam berita di layar kaca. Rupanya dia berang bukan kepalang karena Taman Bungkul rusak akibat acara bagi-bagi es krim gratis.

"Kalian tidak punya izin ngadain ini, lihat semuanya rusak! Kami bangun ini nggak sebentar, biayanya juga nggak sedikit. Kalian seenaknya merusak. Saya akan tuntut kalian!" marah Risma sambil meninggalkan panitia acara yang kaget.

Tri Rismaharini marah-marah dalam berita di layar kaca. (Foto: www.beritasatu.tv)

Acara bagi-bagi es krim itu adalah event Wall's Ice Cream Day yang diselenggarakan Unilever serentak di 6 kota besar. Mereka membagikan es krim gratis kepada warga dengan cara menukar kupon yang sebelumnya telah disebar.

Menurut saya, pantas dan sudah seharusnya salah satu wali kota terbaik di dunia itu marah. Bertahun-tahun dia bekerja keras mengubah Kota Buaya menjadi indah dan sejuk dengan konsep sejuta taman.

Saya pernah bertemu Bu Risma di acara Welcome Dinner bersama peserta DBL Camp 2013 (125 camper putra dan 122 camper putri) dari 25 kota dan 22 provinsi se Indonesia, Juni tahun lalu. Acara ramah tamah dan makan malam digelar di kantor wali kota, jalan Taman Surya.

Dari penuturannya langsung, Bu Risma mengaku harus susah payah membuat kota Surabaya berubah menjadi elok seperti sekarang. "Saya menanam (pohon) jam 2 sampai 3 pagi (dini hari) untuk membuat kota hijau," bebernya.

Di acara itu pula, saya juga tahu kalau Bu Risma pintar memasak. Sesuai bocoran, Bu Risma yang turun tangan memasak Nasi Rawon untuk tetamunya malam itu. "Bagaimana cara masaknya sampai enak begitu, Bu?" tanyaku. "Ha ha ha ha, kamu penasaran banget ya," jawab Bu Risma terbahak sambil menepuk-nepuk pundak saya sebelum naik mobil.

Andai panitia bagi-bagi es respek atas usaha keras wali kota, amarah Bu Risma di Taman Bungkul bisa dicegah. Setidaknya, mereka tidak lalai dan mengabaikan pepatah yang mengatakan bahwa wanita akan sangat marah ketika bunganya dirusak.

Amarah Bu Risma di Taman Bungkul Surabaya menjadi topik berita televisi. Saya menyimak sebelum mengikuti laga penentuan juara Manchester City di ajang Premier League Inggris.

Malam makin larut, mata tak kuasa bertahan. Kuikuti hasrat badan untuk rehat di atas kasur, berjarak satu langkah dari sandal baru Pak Taufik. (Bersambung).

https://plus.google.com/103295235161523615134/posts/eBmGJAEYANT

0 comments: