MUDIKLAH BIAR TAK LUPA DARATAN!

Foto: nasional.republika.co.id
Toko-toko pakaian telah "diinvasi". Sekarang, waktunya mudik untuk berlebaran. Paling urgen mudik ke "asal" kita yang sesungguhnya.

Semua setuju mudik. Biarkan kontraktor bikin jalan dan jembatan untuk kepentingan ekonominya sendiri. Mari kita tunggangi itu dengan kepentingan kita untuk mudik. Biarkan proyek kereta api Makassar-Parepare dikerja pemerintah dan pihak ketiga yang entah untung berapa. Tapi kelak, kalau sudah beroperasi, mari kita tunggangi itu dengan kepentingan kita untuk mudik.

Mudik mencerminkan etos manusia yang selalu merindukan asal. Merindukan tempat bermain semasa kecil dengan teman sebaya yang penuh kenangan indah. Merindukan kampung yang jauh dari haru-biru kehidupan culas. Merindukan kesahajaan.

Jika ada yang tak mudik, pas terdengar takbir, hatinya seperti tersayat-sayat, nelangsa, dan pilu, sebab ia rindu kerabat dan kenangan di tempat asal. Jika ada yang tak mudik, baik secara fisik maupun psikis, lebarannya ibarat Priangan, cuma ada dalam sajak Ramadan. Itu pun cuma dalam judulnya.

Jadi, tunggu apa lagi, mudiklah! Ayo! Pulang ke kampung agar kita tahu kalau ternyata kita sudah pergi begitu lama dan begitu jauh. Agar kita paham bahwa harta kearifan telah hilang di perantauan.

Tetapi penting untuk dipahami, mudik lebih dari sekadar rindu, kue kering, keluarga, dan kawan lama. Mudik lebih dari sekadar jalan-jalan ke kampung--yang dilupakan untuk beberapa bulan lamanya, dan disinggahi beberapa hari saat libur lebaran. Inti mudik melebihi senyum termanis kita ke tetangga rumah yang sekarang cuek, padahal dahulu begitu dekat.

Mudik menyimpan nilai lebih: menjaga silaturahmi, saling mengunjungi, dan bermaaf-maafan. Mudik mengantar kita kembali ke fitrah. Memerdekakan kita dari penjara pikiran hedonisme dan mau menang sendiri. Mudik mengingatkan kita betapa indahnya hidup bersahaja.

Itulah esensi mudik. Mengandung makna strategis bagi penyelesaian setumpuk masalah yang kini benar-benar dihadapi oleh lebih dari 200 juta penduduk negeri ini yang mayoritas muslim. Masalah antara kita dengan Allah, dan masalah antara kita dengan sesama manusia.

Disadari atau tidak, kesalahan manusia ada dua, yakni kepada Allah dan kepada sesama manusia. Rumitnya, karena bergaul dengan Allah jauh lebih enak daripada bergaul dengan sesama manusia. Allah maha pengampun, sedangkan manusia belum tentu mau memaafkan kesalahan-kesalahan kita.

Sebesar apapun dosa kita kepada Allah, namun jika disesali, beristigfar, lalu bersungguh-sungguh tidak akan mengulanginya, maka Allah akan mengampuni. Manusia? Urusan maaf-memaafkannya rumit. Dan, ini tidak bisa dianggap enteng, sebab banyak dalil naqli menyebutkan gawatnya dosa antarsesama.

Makanya, kalau ada salah, segeralah minta maaf! Meminta maaf adalah kebaikan, memaafkan adalah kemuliaan. Mari menjadikan momen mudik untuk melebur dosa kita terhadap Allah, sekaligus terhadap sesama manusia.

Dengan demikian, bisa diharapkan diri-diri kita menjadi kembali bersih dari segala dosa, kembali ke fitrah, kemudian menjaga kebersihannya dengan merawat hubungan baik kita, baik dengan Sang Pencipta maupun dengan sesama hamba-Nya. Hablum minalllah wa hablum minannas.

Pada akhirnya, saat tiba waktu untuk mudik hakiki, kita bukanlah orang-orang merugi, sebab kita pulang ke pangkuan-Nya dengan annafsul muthmainnah, dengan jiwa yang tenang. (*)

0 comments: