CERITA DARI PALU (3)

Lima hari di Palu sangat berarti. Teman dan hal-hal baru menyambangi.

Setelah Pak Rasyid, orang baru berikutnya yang diperkenalkan Pak Taufik adalah Pak David. Pak Rasyid dan Pak David adalah figur di Kota Palu. Saya merasa aman dan nyaman setelah berjumpa mereka.

Pak Rasyid adalah adik mantan Bupati #Poso. Dia salah satu saksi utama konflik Poso sepuluh tahun silam. Dia muslim dan rajin salat berjamaah. "Ngeri betul keadaan waktu itu. Manusia seperti sudah tidak ada artinya. Mayat di mana-mana," kenangnya prihatin.

Ketika bupati diungsikan ke tempat aman, Pak Rasyid berani menggantikan posisi sang kakak di rumah jabatan. Dia bernyali besar pasang badan menjadi "sasaran tembak". "Waktu Pak #JK (Jusuf Kalla) datang mencari bupati, saya bilang saja kalau bupati lagi turun lapangan," kata Pak Rasyid tersenyum menceritakan masa lalunya itu.

Banyak peristiwa dan hal-hal krusial di balik konflik Poso yang dia ceritakan, namun saya berkesimpulan tidak menuangkannya di tulisan ini. Yang penting Poso sekarang sudah aman dan harmoni. Itu yang pokok.

Sementara, Pak David merupakan pensiunan PNS. Jabatan terakhirnya sebagai Sekretaris Dewan DPRD Provinsi Sulawesi Tengah. Dari pagi sampai siang ini (Rabu, 14 Mei 2014) Pak David mengajak saya berkeliling kota.

Pak David mengangkat saya sebagai keponakan dadakan ketika berjumpa Pak Aminuddin Aco (Sekretaris Kota Palu) dan Pak Anwar Ponulele (Ketua KONI Provinsi Sulawesi Tengah). "Ini Sidiq, kemanakan dari Mandar. Dia datang liburan di sini," ujar Pak David. Saya melempar senyum mendengarnya.

Mereka semua ramah dan enak diajak mengobrol tentang apa saja, terutama soal kota Palu dan kemajuannya.

Puas berkeliling, saya dan Pak David memutar arah. Dia mengantar saya kembali, karena Pak Taufik, Pak Rasyid, dan Kak Dayat sudah menunggu di hotel. "Kitorang pigi makan #Kaledo dulu. Kan besok Sidiq sudah pulang," ajak Kak Dayat, keponakan "asli" Pak David. "Harus makan Kaledo, supaya kau tahu Kaledo itu bagaimana. Biar ada cerita Kaledo dibawa pulang," sambung Pak Taufik.

Saya pasrah mengikut arus. Tak lama, dua mobil yang kami tumpangi sudah terparkir di depan rumah makan Kaledo Stereo, di Jalan Diponegoro. "Tiga tanpa tulang, satu pake tulang," kata Pak Taufik memesan pada pelayan.

Pesanan Kaledo pakai tulang rupanya spesial untuk saya. Kata Pak Taufik, Kaledo itu singkatan dari Kaki Lembu Donggala. Harganya satu porsi: Rp40 ribu yang pakai tulang dan Rp25 ribu yang tanpa tulang.

"Kalau di Makassar, Kaledo kita sebut daging yang dimasak salah. Jadi dagingnya dimasak tidak pakai bumbu," jelas Pak Taufik.

Saya mencicipi kuah pertama Kaledo. Rasanya lumayan. Saya mencoba lagi, tetapi aromanya di lidah dan leher terasa berubah. Saya mulai kurang nyaman. Merasa bahwa kaledo yang saya cicipi adalah masakan daging sapi dengan aroma daging kambing yang kuat. Aneh. "Inilah Kaledo. Kalau orang #Makassar bilang masakan setengah jadi. Aroma dagingnya kuat karena direbus tidak pakai bumbu," imbuh Pak Rasyid.

Semangkok kaledo.

Saya putar otak. Bereksperimen menuangkan bawang goreng dan kacang ke dalam kuah. Namun, aroma dagingnya tidak bisa diminimalkan dengan cara itu. Mood semakin rusak ketika kusedot sumsum dari pipet yang ditaruh di dalam tulang. Untung saya bisa menahan diri untuk muntah, meski akhirnya menyerah tak lama kemudian. "Kau tau mi toh Kaledo itu bagaimana," kata Pak Taufik terkekeh bersama Pak Rasyid dan Kak Dayat di ujung obrolan.

Bergeser dari rumah makan Kaledo, kami ke warung kopi Sikamali milik orang Toraja. Kami datang saat orang-orang sedang sibuk menyiapkan konser #Adera, anak musisi ternama Ebiet G Ade. "Konsernya sebentar malam. Kalau konser di sini, satu meja dihargai Rp450 ribu. Inklud dengan kopi dan snack," jelas Kak Dayat.

Kami cukup beruntung karena pemilik warung yang masih teman Kak Dayat menyilakan kami duduk di salah satu meja, meski area konser sudah seharusnya diklirkan. "Tak apalah. Kitorang santai saja dulu," sambut pemilik warung dengan ramah.

Langit sudah senja ketika saya meminta ikut pada Pak Rasyid menjemput anaknya di Universitas Tadulako (#Untad). Saya ingin jalan-jalan ke kampus terluas di Indonesia itu.

Betul kata orang, pengunjung yang baru pertama kali ke sana bisa tersesat jika tak tahu jalan. Kampus Untad amat luas. "Kira-kira ada sampai 300 hektare ini kampus," sebut Pak Rasyid di balik kemudi Inova hitamnya.

Saya takjub bukan hanya karena luasnya, letak Untad di atas bukit menawarkan lanskap memesona. Dari dalam kampus tampak pemandangan laut dan gunung sekaligus. Cahaya senja membuat kedatangan saya makin mantap. Indah tiada duanya. Sayang, gelap memaksa saya harus beranjak dari sana.

Pengalaman sore di Untad saya ceritakan pada Kak Dayat yang sedang asyik duduk di hotel. Dia pasti tahu banyak tentang kampus itu, karena alumni dari sana. Benar saja, Kak Dayat membeberkan segudang pengalamannya semasa kuliah di Untad.

Selepas Isya, Kak Dayat kemudian mengajak saya bertemu Dr Muzakir Tawil MSi, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untad. Dia tahu saya akan senang berkenalan dengan salah seorang akademisi Untad. Langsung saja Kak Dayat menggeber Ford putihnya ke rumah Pak Mute, panggilan akrab Pak Muzakir.

Saya beruntung lagi, Pak Mute ada di rumah. Pasalnya, dia salah satu figur tersibuk di Palu. "Ini Pak Mute, senior saya di SMAN 2 Palu sekaligus calon rektor Untad," kata Kak Dayat. Saya mengangguk-angguk. Kemudian perbincangan panjang tentang kota Palu dimulai, ditemani tiga gelas jus jeruk segar. Kami baru bubar ketika Pak Mute hendak menghadiri acara diskusi politik di salah satu kafe. "Terima kasih, Pak atas waktunya. Kapan-kapan ketemu lagi," pamit saya pada tuan rumah. (Bersambung)
https://plus.google.com/103295235161523615134/posts/DbxBmZp3zGW

0 comments: