Ilustrasi puisi. (Foto: bandung.bisnis.com)
Kala di Pelabuhan Damai…
Pagi senantiasa tenteram, malam selalu tenang.
Aku bahagia, juga kau.
Kau ceria, juga aku.
Tak pantas ada masalah yang membuat kita dikecam sedih.
Atau, apapun yang gundah.
Di balik setiap tirai buram, kudapati lagi senyum lepasmu.
Aku tak pernah melupakan itu.
Senyummu menatar remah-remah kenyataan pahitku menjadi keteguhan baru: berdiri tegak di ujung rindu atau ketika asa bersembunyi sebentar di pintu mungil yang berjarak.
Kala di Pelabuhan Damai…
Dada bergejolak, napas menderu-deru.
Rindu.
Inilah kisah yang terjerembap di rimbun perdu pinggir jalan.
Kisah sang petualang nasib yang gagah berani melajukan hidupnya di atas “kapal cinta”.
Kisah sang petarung mimpi yang khusyuk berkirim sapa melalui doa di atas sajadah.
Seperti aku, kuharap kau tabah, sayang!
Tabah ketika hatimu ingin duduk tersipu di sisiku.
Tabah ketika hatimu menapak tilas jalan cerita.
Kutahu, kita tak punya kesanggupan untuk lupa.
Aku merindumu dengan kucuran doa.
Aku mengagumimu, seperti keindahan Mekah dan Madinah.
Aku memujamu laksana Kabah.
Benakku selalu mengulang-ulang, mengingatnya sebagai ajaran ketegaran.
Saat berdiri di muka jendela, melarikan gelisah, hiburlah hatimu tentang perjuangan bersabar dan tawakal.
Saat membuka mata pada pagi hari, lihatlah aku menjelma dalam senyum simpulmu.
Kebahagiaan mengubur duka, setelahnya akan susah.
Begitupun sebaliknya.
Namun aku percaya, kau wanita bercahaya memancarkan kecantikan.
Kau istimewa, bukan wanita biasa.
Kau anggun.
Percayalah, sayang!
Di mana kau membubungkan asap rindu ke udara, ke situlah aku pulang.
Pun pulang padamu kala langit di Pelabuhan Damai telah senja.
Aku mencintaimu, selalu.
Makassar, 16 Maret 2014.
0 comments:
Posting Komentar