CERITA DARI PALU (2)

Dilansir #Garuda Magazine, ada 8 alasan mengapa harus ke Palu. Di antaranya karena ada Teluk #Donggala, Taman Nasional Lore #Lindu, makanan #kaledo, Tanjung Karang, ikan bakar, bawang goreng, nasi kuning kuah lodeh, dan Danau Lindu.

Kalau bagi saya, cukup dua sebab saja: rica dan kahwa. Mengapa?

Tunas dua alasan itu muncul ketika langit Negeri #Kaili begitu terik pada Senin, 12 Mei 2014. Di tepi teluk Talise, angin juga sedang semangat berdesir. Roman pesisir memancing jejeran gunung yang mengitari kota unjuk muka. Menjabal.

Panorama kian memikat saat kuyakinkan dalam hati bahwa cerita hari ini bakal seru dan panjang. Benar saja, Tuhan langsung mengawali narasi beberapa saat kemudian di atas meja makan warung #Pangkep.

Jangan salah, Palu juga diisi jenis-jenis jualan kuliner Sulawesi Selatan. Bahkan, menurut data Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah pada 2001, 80% perekonomian kota dikuasai oleh warga pendatang, seperti suku Bugis, Makassar, dan Toraja. Itu statistik 13 tahun silam. Sekarang apalagi. Di mana-mana, ketika berbelanja, hampir selalu ditemui orang Selatan.

Kembali ke meja makan. Tanpa spasi lama, langsung kucubit daging ikan yang telah kupilih sebelumnya di depan pintu warung. Ikan memang dipilih langsung oleh pembeli. Jika cocok dengan selera dan harga, ikan baru diolah. Tergantung pembeli, ikan mau digoreng, direbus, atau dibakar.

Di warung yang kami datangi, meski berlabel Pangkep, cara penyajiannya berbeda dari yang biasa saya temui di Selatan. Di sini, seekor ikan wajib ditemani sup, kacang goreng yang ditumbuk halus, dan sambal ulek. Kalau di Selatan, sambal dan kacangnya dicampur.

Yang berbeda lagi adalah tambahan guyuran sambal di atas ikan sehabis dibakar. "Manis atau rica?" tanya sang juru bakar warung.

Manis adalah pilihan guyuran sambal bagi pelanggan yang takut pedas. Sedangkan rica adalah opsi menarik bagi yang suka pedas menyengat. Dan, saya suka opsi kedua. Menantang.

Akibatnya? Keringat saya bercucuran sejak kunyahan pembuka. Berulang kali kuambil tisu untuk menyeka basah.

"Bagaimana? Mantap?" tanya Pak Taufik di seberang meja. Tanpa menyahut pun, dia sebetulnya sudah tahu jawaban bahwa saya sedang berjuang melawan peluh sambal rica.

Hari ini, dua kali saya bertarung pedas. Waktu malam, kami kembali makan di meja yang sama. Pak Rasyid adalah saksi tambahan untuk "pertarungan kedua" saya melawan si rica.

Pak Rasyid datang untuk bertemu Pak Taufik. Mereka sahabat.

Setelah mengobrol sebentar, Pak Rasyid lalu mengajak kami ke warung kopi Sija. Di warung inilah muncul alasan kedua saya harus mengunjungi Palu: kahwa.

Pak Taufik (kiri) dan Pak Rasyid.
Ya, kahwa. Pesanan kahwa alias kopi membuat pelayan bingung. Jika Pak Taufik, Pak Rasyid, dan Wandi memesan kopi susu, saya meminta kopi hitam. "Di Palu tidak ada kopi hitam, Dik," jelas Pak Taufik.

Saya heran. Pak Rasyid cepat meluruskan. "Di sini bukan kopi hitam, tapi kopi o,"

Saya tersenyum paham. Akar masalahnya bukan pada ketiadaan kopi hitam, melainkan tentang sistem lambang bunyi arbitrer yang saya sampaikan pada pelayan. "Ya, itu maksud saya: kopi o. Kopi saja," sahutku lekas membenarkan. "Opale!". (Bersambung)

https://plus.google.com/103295235161523615134/posts/RC1UowdFnRo

0 comments: