KEBENARAN DARI KACAMATA KOVACH

"Perang dimulai dari pikiran manusia."

 oleh: sidic manggala

Begitu Sushil Kumar Modi menyadur kalimat dari piagam United Nations Educational Scientific and Cultural Organisation (UNESCO). Modi adalah ahli seni India yang mengkampanyekan perdamaian dengan menggelar pameran lukisan keliling dunia bertema Power of Peace. Uang bukan masalah bagi Modi untuk keliling dunia. Ia adalah ahli waris salah satu kerajaan bisnis di India. Modi dan kru pameran Power of Peace singgah di Bali, Indonesia, ketika Forum Perdamaian Global UNESCO diselenggarakan pada 21-23 Januari 2007. Lukisan yang dipamer adalah karya para pelukis India berkaliber internasional, seperti M.F. Husain yang tinggal di Dubai, S.H. Raza yang tinggal dan bekerja di Paris, serta pelukis kelahiran Inggris, Uday Dhar.

Walau beda jauh dari sisi kekayaan, kultur, maupun agama, saya dan Modi sepaham tentang perdamaian. Saya pun sepakat dengannya bahwa pertentangan di muka bumi semua bemula dari perbedaan pikiran, perbedaan argumen. Lantas, apa yang membedakan kepala yang satu dengan kepala yang lain? Jawabannya simpel: kebenaran. Kerena berbeda pandang melihat kebenaran, muncul kontradiksi.

Foto: Twitter @blakejamieson
Philip Knightley dalam bukunya, The First Casualty, memaparkan, dari Perang Krimea pada 1854-1856 hingga Perang Teluk 1990-1991, korban pertama yang jatuh ternyata adalah kebenaran. Mengapa? Masing-masing pihak yang terlibat dalam peperangan saling mengklaim diri sebagai pihak yang paling benar. Masing-masing pihak melancarkan propaganda yang membius agar pendapatnya diterima khalayak.

Pertanyaan belum tuntas. Kebenaran mana yang dimaksud? Jurnalis kelas dunia bernama Bill Kovach mampu menjawabnya. Mengapa Kovach? Sebab orang-orang saat ini cenderung setuju pada kebenaran yang disajikan dalam koran, portal, atau berita di televisi. Sementara pandangan seorang wartawan bisa bias karena latar belakang sosial, pendidikan, kewarganegaraan, kelompok etnik, atau agamanya.

Di dunia jurnalisme, nama Bill Kovach dikenal bersih dan adil. Total dalam kariernya, Kovach menugaskan dan menyunting lima laporan yang mendapatkan Pulitzer Prize. Thomas E. Patterson dari Universitas Harvard mengatakan, Kovach punya karier panjang dan terhormat sebagai wartawan. Goenawan Mohamad, pendiri majalah Tempo, merasa sulit mencari kesalahan Kovach.

Dalam bukunya berjudul The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect, Bill Kovach bersama Tom Rosenstiel mengurai tentang kebenaran sebuah berita. Kovach menegaskan bahwa kebenaran adalah elemen nomor satu dari sembilan elemen jurnalisme.

Nah, kebenaran yang mana yang Kovach maksud? Bukankan kebenaran bisa dipandang dari kacamata yang berbeda-beda? Tiap-tiap agama, ideologi atau filsafat punya dasar pemikiran tentang kebenaran. Jadi, kebenaran menurut siapa? Bagaimana dengan bias seorang wartawan dalam karier jurnalistik?

Kovach dan Rosenstiel menerangkan bahwa kebenaran yang diusung wartawan dalam sebuah berita adalah kebenaran fungsional. Begitu pula pada profesi lain. Polisi melacak dan menangkap tersangka berdasarkan kebenaran fungsional. Hakim menjalankan peradilan juga berdasarkan kebenaran fungsional. Namun apa yang dianggap kebenaran ini senantiasa bisa direvisi. Seorang terdakwa bisa dibebaskan karena tak terbukti salah. Hakim dan polisi bisa keliru. Bahkan hukum-hukum ilmu alam pun bisa direvisi.

Hal ini pula yang dilakukan jurnalisme. Bukan kebenaran dalam tataran filosofis, tapi kebenaran dalam tataran fungsional. Kebenaran yang diberitakan media dibentuk lapisan demi lapisan.

Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh tabrakan lalu lintas. Hari pertama seorang wartawan memberitakan kecelakaan itu: di mana, jam berapa, jenis kendaraannya apa, nomor polisi berapa, korbannya bagaimana. Hari kedua berita itu mungkin ditanggapi oleh pihak lain. Mungkin polisi, mungkin keluarga korban. Mungkin ada koreksi. Maka pada hari ketiga, koreksi itulah yang diberitakan. Ini juga bertambah ketika ada pembaca mengirim surat pembaca, atau ada tanggapan lewat kolom opini. Demikian seterusnya.

Jadi kebenaran dibentuk hari demi hari, lapisan demi lapisan. Ibaratnya stalagmit, tetes demi tetes kebenaran itu membentuk stalagmit yang besar. Makan waktu. Tetapi, dari kebenaran sehari-hari ini terbentuk bangunan kebenaran yang lebih lengkap.

Masih ada pertanyaan. Jika kebenaran adalah korban pertama dari sebuah peperangan, apakah ia harus dibela? Jawabannya adalah ya, harus. Apakah kebenaran butuh dibela? Jawabannya, tidak. Kebenaran tak butuh dibela. Yang butuh dibela itu adalah orang yang bersalah. Sedangkan kebenaran akan menang pada waktunya. Seperti posting-an Buni Yani di Facebook-nya, "Kebenaran tak bisa dihilangkan atau dibungkam. Dia hanya bisa ditunda untuk diketahui orang banyak." ***

0 comments: