AIR MATA KAHLIL



Kahlil, yang sedang asyik menggelinding bola salju, seketika kalang kabut menyaksikan ayah, ibu, dan kakaknya tersapu badai.

"Aduhhh... aduhhh... aduhhh..." Kahlil mengerang.
Friska acuh mendengar erangan adiknya itu. Sang kakak fokus mengiris wortel dan tomat di dapur daripada memedulikan jeritan remaja 16 tahun yang kesiangan. Kecuali genitalia dan kebiasaan telat bangun, Friska mirip adiknya: warna kulit pucat, tulang pipi menonjol, hidung mancung, alis tebal, dan sama-sama suka tantangan.

Pagi ini, Friska enggan kehilangan hadiah kacamata baru dari ayahnya hanya karena misinya di dapur gagal. Friska dijanji hadiah kacamata karena sukses meraih beasiswa jurusan psikologi di The Australian National University. Uang kuliah selama empat tahun plus akomodasi di Australia gratis untuknya.

"Satu, asyik, dua, hari, tiga, lagi, empat, ke Aussie..." Friska bernyanyi dan heboh sendiri di depan kompor gas.

Pak Irwan dan istrinya, Bu Julia, amat bahagia anak sulung mereka kuliah di salah satu universitas terkemuka Australia yang memiliki ranking terbaik di dunia, tanpa harus membayar Rp300 juta.

"Bagaimana dengan uang jajan dan uang makan Friska nanti di sana, Pa?" Bu Julia bertanya pada suaminya yang sedang giat mencukur rumput di pekarangan.

"Tenang saja, Bu. Friska itu anaknya ulet," ucap Pak Irwan menghampiri istrinya.

"Saya khawatir, Pa! Saya khawatir, karena uang kita di sini juga hanya untuk melunasi utang. Tak ada uang lebih untuk Friska," timpal Bu Julia dengan wajah lesu.

Mendengar perkataan si istri, Pak Irwan terdiam, mengalihkan perhatian pada keringat di dahi. Suasana di pekarangan menjadi hening, sehening Stadion Gelora Bung Karno yang kosong dari aktivitas sepak bola. Keheningan baru pecah saat Friska datang.

"Pa, Bu, sudah. Sudah jadi makanannya. Ayo!" Friska mengajak orang tuanya sarapan.

Di meja makan, Kahlil lebih dahulu mengambil tempat. Ia yang pertama mencicipi Sup Ayam Tomat buatan Friska.

"Rasanya hambar," Kahlil menilai.

Bu Julia yang baru tiba di meja makan juga mengambil sendok lalu mencicipi sup, "Hmm.. kurang lada."

"He he he, iya, bu, saya lupa," Friska bergegas mengambil botol lada hitam bubuk di lemari bumbu.

Setelah Sup Ayam Tomat buatan Friska "disetel ulang", akhirnya mereka makan dengan lahap. Tahu dan tempe yang ikut dihindangkan laris dihajar Kahlil.

****

Langit telah gelap ketika Pak Irwan memarkir mobil di halaman rumah. Begitu rutinitas Pak Irwan sepanjang hari selama tiga tahun terakhir: pergi pagi, pulang malam. Ia banting setir menjadi sopir di PT Taksi Tupai setelah perusahaan warisan keluarga yang ia kelola bangkrut.

Saat masih jaya, Pak Irwan lupa diri hingga tenggelam dalam perjudian level akut. Ia pun terlilit utang dari segala penjuru. Utang membuat fisik dan pola hidupnya berubah. Rambut di kepalanya menipis, rahang pipinya semakin kentara, dan rasa percaya dirinya jeblok.

"Bu, saya malu, saya menyesal, saya..." Pak Irwan mencurahkan perasaan.

"Sudahlah, tak ada gunanya lagi menyesal. Yang penting bank tidak menyita rumah kita. Hari ini utang kita di bank sudah jatuh tempo untuk yang ketiga kalinya secara berturut-turut. Entah apa yang terjadi besok."

Bu Julia bingung harus ke mana jika rumah mereka disita. Ia dan suami sudah terlalu malu untuk menumpang di rumah keluarga setelah insinden gulung tikar perusahaan. Jika ingin mengontrak rumah, dari mana mereka mendapatkan uang? Bu Julia tak ada simpanan uang, begitu juga Pak Irwan.

"Ah, sudahlah. Pasrahkan semua pada Tuhan," Bu Julia menghibur diri sebelum memencet sakelar lampu dan meminum satu pil aspirin, obat penghilang rasa nyeri pada jantungnya.

Bu Julia membaringkan badan di kasur, di samping suaminya. Namun, pikiran Bu Julia sama seperti Pak Irwan: berseliweran meski letih dan kantuk menyerang. Lima jam berlalu sia-sia di atas kasur, tanpa kata dan sapa antara mereka.

****

Mentari akhirnya mengintip di timur. Pak Irwan bangun, berlagak tidurnya semalam ini nyenyak. Bu Julia pun begitu. Bu Julia beranjak ke dapur. Ia kaget mendapati empat buah gelas bening di meja makan telah terisi teh hangat. Rupanya, semalam berlalu, Friska juga susah tidur dan memilih melahap buku Keep Your Brain Alive karya Dr Lawrence Katz setebal 148 halaman sampai tuntas.

"Wah, rajin sekali, nak," Bu Julia membuka obrolan.

"Apinya terlalu besar, nak. Kalau terlalu besar, nanti donatnya kurang lada."

Seperti biasa, Kahlil yang paling telat beraktivitas. Meskipun hari ini adalah Senin--hari yang menyeramkan bagi setiap pelajar karena harus upacara--Kahlil tetap saja terlambat bangun.

Friska dan ibunya memindahkan teh hangat dan donat yang sudah ditaburi gula pasir halus ke ruang tamu. Sofa tua bermotif merah maroon menjadi tempat mengobrol. Friska menyalakan televisi. Dari layar kaca, dua orang pembawa berita mengabarkan tiga kekalahan beruntun Timnas Indonesia U-19 pada Piala Asia 2014. Skuat berjuluk Garuda Maya dicap gagal total pada kejuaraan yang juga merupakan babak kualifikasi Piala Dunia U-20 itu. Ivan Dimas dan kawan-kawan di timnas menjadi juru kunci Grup B dengan nol poin.

"Sayang sekali, padahal Ivan Dimas dan timnya jago, loh!" Friska kesal, memotong suara pembawa berita.

Kekesalan Friska tak digubris, karena ayah dan ibunya mengalihkan perhatian pada pintu.

"Tok... tok... tok..."

Friska beranjak, pergi menarik gagang pintu.

"Selamat pagi. Apa betul ini rumah keluarga Pak Irwan Sulastro?” tanya pria tambun dan berkumis tipis di balik pintu.

“Saya Jalil dari Bank Mutiara," ia melanjutkan kemudian masuk rumah setelah disilakan.

Friska dan ibunya pindah ke dapur. Ketika Friska memilih duduk di meja makan, Bu Julia kembali ke ruang tamu membawa segelas teh hangat.

"Silakan diminum, Pak!" Bu Julia menaruh gelas di atas meja.

"Saya ingin menyampaikan, besok adalah hari eksekusi. Bapak dan ibu diminta mengosongkan rumah hari ini," si tamu menjelaskan pokok masalah.

"Tak ada dispensasi lagi ya, Pak?" Bu Julia bertanya dan dijawab pria di depannya dengan dua kali anggukan.

Pak Irwan salah tingkah, tatapannya ke mana-mana. Istrinya pun begitu. Seakan tahu perasaan tuan rumah, si tamu buru-buru pamit, "Kalu begitu saya permisi."

Meski samar mendengar, Friska memahami obrolan di ruang tamu. Terbawa emosi, lensa kacamatanya sembab. Ia pura-pura tersenyum ketika Kahlil yang sudah mengenakan seragam putih abu-abu menghampiri.

"Ada apak, kak? Kenapa?" Kahlil bertanya.

Merasa diacuhkan, Kahlil menuju ruang tamu sambil menggigit sepotong donat. Namun, Pak Irwan dan Bu Julia tahu betul bagaimana menyembunyikan kesedihan. Seperti tak ada apa-apa, Kahlil diminta bergegas ke sekolah.

Friska, yang mengintip Kahlil mengayuh sepeda dari jendela, masih berwajah lesu. Ia menguatkan hati untuk bergabung di ruang tamu. Friska menghela napas dalam-dalam kemudian berucap, "Pa, Bu...". Sempat terdiam, Friska melanjutkan, "Sebaiknya saya tidak usah kuliah ke Australia. Saya ingin bersama bapak dan ibu di..."

"Tidak, nak!" Pak Irwan memotong.

"Percaya, semua akan baik-baik saja. Kesempatan kuliah di Australia tidak datang dua kali."

"Sekarang, bantu bapak dan ibu mengepak barang. Kita pindah ke rumah kontrakan Pak Jono. Tiga hari lalu, saya sudah bicara dengan Pak Jono. Beliau menyilakan kita tinggal di sana untuk sementara," Pak Irwan menjelaskan rencananya.

Acara mengepak barang dimulai setelah Pak Irwan meminta izin ke bosnya tidak masuk kerja. Bu Julia bertugas di dapur, Pak Irwan membongkar isi beberapa lemari, dan Friska menaruh barang-barangnya serta barang-barang Kahlil ke dalam kardus. Mereka butuh waktu delapan jam untuk mengepak seluruh barang. Semua terselesaikan ketika Kahlil pulang.

Kahlil yang baru tiba dan tak tahu masalah disambut penasaran, "Ada apa, kak? Kenapa barangnya?"

"Kita harus pindah hari ini. Besok, rumah ini dieksekusi," Friska menjawab singkat, mencegah pertanyaan-pertanyaan baru muncul.

"Kamu lebih baik bantu Bapak menaikkan barang-barang ke mobil," Friska melanjutkan.

Termangu beberapa saat, Kahlil akhirnya menurut. Kahlil dan ayahnya harus tiga kali mondar-mandir dari rumah yang akan disita ke kontrakan Pak Jono. Jaraknya cukup jauh, empat kilometer. Mereka bersyukur, semua pekerjaan bisa rampung sebelum senja.

****

Malam menyelimuti. Kepindahan Pak Irwan dan keluarga ke “rumah baru” ukuran 7x5 meter menyisakan sesak di dada. Tetapi apa daya, perjuangan mesti berlanjut.

"Kita juga beruntung masih bisa tinggal di sini," ucap Pak Irwan.

"Sekarang, Friska siapkan barang-barangnya, nak! Kan, besok sudah harus berangkat."

Friska mengabaikan permintaan ayahnya. Ia memilih tidur di pangkuan ibunya, menonton televisi yang ditaruh di antara tumpukan kardus. Seperti pikiran Friska yang terus melayang, antara kuliah di Australia dan tidak, kardus-kardus yang ada masih berantakan. Hanya Kahlil yang masih punya tenaga merapikan buku-buku sekolah. Pada akhirnya, Pak Irwan, Bu Julia, Friska, dan Kahlil terlelap ditelan malam.

****

Bu Julia yang pertama menyambut pagi. Hari ini ia bersemangat. Hanya saja, ada yang mengganjal bagi Bu Julia malam tadi: lupa meminum pil aspirin seperti yang rutin ia lakukan setiap malam selama tiga tahun terakhir. Ketika Bu Julia sibuk mengangkat kardus, perhatiannya terpecah oleh suara gaduh Friska dan Kahlil.

"Kenapa, Kahlil?" tanya Bu Julia.

"Ini Bu, Kahlil ulang tahun," jawab Friska diselingi tawa.

Hari ini 23 November, Kahlil genap 17 tahun. Pengalaman jahil Friska semasa SMA diterapkan pagi ini. Ia menyiram, menaburkan tepung, dan memecahkan satu butir telur ayam di kepala Kahlil.

Cukup bercanda, Kahlil ke kamar mandi. Setelah itu, ia bersiap ke sekolah. Yang berbeda bagi Kahlil pagi ini adalah jarak tempuh ke sekolah yang tambah jauh, dari tiga kilometer menjadi tujuh kilometer. Ia sempat singgah sebentar di depan "rumah lama" yang belum sehari ditinggalkan. Ia memperhatikan dua eskavator yang terparkir, seakan siap melahap rumah ukuran 120 meter persegi di depannya.

****

"Bawa ini ke Australia, nak. Jaga-jaga kalau Friska butuh uang," Bu Julia menyerahkan kalung emas seberat 20 gram.

"Iya, Bu," Friska mengangguk.

Waktu pun terasa cepat berlalu. Jam dinding telah menunjukkan pukul 11.00. Lima menit kemudian, Pak Irwan tiba di rumah. Friska langsung berdiri, memeluk ibunya erat-erat. Perpisahan mereka diwarnai isak tangis. Maklum, selama 19 tahun usia Friska plus sembilan bulan dalam kandungan, keduanya tak pernah berjauhan tinggal.

Dalam perjalanan dari rumah ke bandara, air mata Friska terus berderai. Setiba di bandara,  Pak Irwan merangkul Friska ke arah pintu masuk penumpang.

"Nak, ini kacamata baru yang saya janjikan," Pak Irwan membuka sebuah kotak.

Pak Irwan melepas kacamata yang sedang dipakai Friska dan mengganti dengan yang baru. Mata Friska kembali basah.

"Hidup adalah perjuangan, nak. Syukur dan sabar kuncinya. Ibu dan kamu adalah wanita yang paling bapak sayang. Makanya, bapak ingin kamu berhasil," Pak Irwan menyemangati.

Friska melangkah masuk pintu penumpang. Ia memutar badan sekali ke arah ayahnya dan melempar senyum manis sebelum menghilang di antara puluhan penumpang. Friska menuju Gate 1 bandara setelah check-in dan menitip tiga koper di bagasi. Seusai memeriksakan paspor dan visa, ia mencari kursi kosong kemudian menyandarkan diri, menaruh tas ransel di lantai, dan membaca buku.

Seperempat jam menunggu, Airbus A320-200, pesawat yang akan ia tumpangi, sudah open gate. Friska menjadi orang kesepuluh yang naik ke kabin. Di belakangnya mengantri seratus lebih orang. Friska duduk di kursi 12C, dekat jendela. Ia ada di belakang sekelompok warga negara Amerika Serikat.

Rintik hujan membuat jendela pesawat kabur. Semakin lama, hujan makin deras, semakin kabur pula pandangan di jendela pesawat. 15 menit kemudian, pesawat mengambil posisi siap terbang. Lampu dalam kabin diredupkan, pilot meminta izin terbang ke Air Traffic Control (ATC) bandara, mesin semakin bising, dan pesawat pun meluncur melawan gravitasi.

Cuaca yang semakin lama semakin tidak bersahabat membuat proses take-off berlangsung tegang. Namun, kesedihan Friska jauh lebih besar daripada ketakukannya. Ia terus memandang ke luar jendela saat penumpang yang lain menutup mata dan berdoa meredam takut. Ketika pesawat sudah stabil di udara, dua pramugari berjalan di lorong. Meyakinkan penumpang yang masih khawatir bahwa semuanya baik-baik saja.

Setelah dua jam membelah angkasa, petaka datang. Di ketinggian 41.000 kaki, Airbus A320-200 dihantam petir jet biru, jenis petir langka nan mematikan. Sambaran petir berkecepatan 100 km per detik membuat listrik, komunikasi, dan kendali pewasat mati. Pesawat saat itu tepat di atas Samudera Hindia.

"Mayday!!! Mayday!!! Mayday!!!," pilot mengabarkan kondisinya ke ATC Jakarta dan ATC Melbourne.

Penumpang panik. Friska yang sebelumnya acuh akhirnya tersadar bahwa dirinya sedang berhadapan dengan maut.

Seharusnya, Airbus A320-200 dengan sistem keamanan super canggih bisa dengan mudah melewati badai dan petir. Namun, peralatan dan komponen elektronika yang dibawa sekelompok Teknisi Radar dari Perusahaan Amerika memicu menarik sambaran petir. Akibatnya, sistem kelistrikan dan semua panel kontrol di ruang kokpit mati total. Sekering, kapasitor, transistor, resistor, dan komponen elektronika lainnya terputus. Pesawat terjun lepas ke Samudera Hindia. Friska dan seluruh penumpang tak bisa apa-apa.

Awalnya, status terbang Airbus A320-200 tak membuat khawatir pihak maskapai. Maskapai baru curiga saat jam pendaratan di Melbourne telah berlalu 30 menit, dan pesawat yang dinanti tak kunjung datang. Pihak maskapai mengontak pemerintah Australia dan pemerintah Indonesia. Dua jam berlalu, status Airbus A320-200 disebut hilang. Media-media Indonesia dan Australia gencar mengabarkan berita ini. Informasi yang beredar adalah Airbus A320-200 mengalami kerusakan mesin dan jatuh di Samudera Hindia.

****

Bu Julia duduk di sofa dan mengelap keringat di keningnya. Ia menyalakan televisi berharap acara infotainment kesukaannya tayang. Namun, ia terperangah mendapati program Breaking News tentang Airbus A320-200 yang hilang. Ia waswas ketika mengetahui bahwa pesawat yang diberitakan adalah pesawat tujuan Australia yang lepas landas dari Jakarta empat jam lalu.

Bu Julia tegang saat terpampang daftar nama 112 penumpang. 20 orang di antaranya adalah warga negara Indonesia. Bu Julia membaca dengan seksama list penumpang. Ia membaca nama-nama penumpang nomor 1 sampai 10. Pada daftar berikutnya, ia menunjuk nama penumpang di nomor 19.

"Friska Wulandari, umur 19 tahun," Bu Julia mengeja.

Seketika, tekanan darahnya meninggi. Bu Julia kalut kemudian terkapar. Ia baru ditolong setelah sepuluh menit tergeletak dan tak sadarkan diri. Kahlil, yang baru pulang dari sekolah menggendongnya ke luar rumah. Seorang pengendara mobil, yang iba, membantu.

****

Pak Irwan yang kalah cepat mendengar kabar Friska via siaran radio langsung menggeber mobil taksinya, bermaksud menyampaikan kabar duka itu pada istrinya di rumah. Di tengah jalan, telepon selulernya berdering. Tampak di screen panggilan masuk dari "Istriku".

"Halo.." Pak Irwan menjawab panggilan.

"Halo, Pa. Ini Kahlil, segera ke rumah sakit. Ibu masuk rumah sakit."

Telepon dari Kahlil membuat Pak Irwan kalang kabut. Ia segera memutar arah mengambil jalan pintas ke rumah sakit. Ketika tiga per empat bodi mobilnya telah berbelok, tiba-tiba sebuah bus trans kota berkecepatan tinggi muncul. Kecelakaan tak terelakkan. Mobil Pak Irwan tertabrak kemudian terguling berkali-kali.

****

Di depan Ruang Kamar Darurat, Kahlil sangat gelisah menanti kabar ibunya. Lima menit, sepuluh menit, 15 menit, dan 20 menit berlalu, namun tak ada tanda-tanda baik. Kahlil berdiri, setelah itu duduk, lalu menjongkok di lantai. Begitu berulang kali sampai dokter yang menangani ibunya menghampiri.

"Anda keluarga Ibu Julia?" si dokter bertanya.

"Dengan sangat menyesal saya sampaikan bahwa Ibu Julia telah tiada. Tuhan lebih menyayanginya," si dokter berkata lalu pergi.

Seketika pandangan Kahlil kelam berkabut pedih. Segera ia berlari menghampiri ibunya yang telah terbujur kaku. Tangis Kahlil pecah menyambar kalbu. Saat batin Kahlil luruh, telepon seluler di saku celananya berdering.

"Halo.." Kahlil menjawab panggilan telepon.

"Halo, ini dengan keluarga Pak Pak Irwan Sulastro? Saya dari kepolisian ingin mengabarkan bahwa beliau..."

Sambungan telepon dari polisi mendadak terputus karena daya baterai telepon seluler Kahlil habis. (*)

0 comments: