Mataku
mengerjap sana-sini. Secangkir kopi di genggaman tak lagi hangat. Ternyata
sudah pukul 01.00 dini hari, Kamis, 1 Oktober 2015.
Catatan Produksi Film Rantemario: The Summit of Love
Oleh:
Sidic Manggala
30 menit
lalu, kami baru saja menyelesaikan sequence
(rangkaian adegan) untuk film Rantemario:
The Summit of Love. Film yang kami buat ini adalah lanjutan film IZAH, short film pertama saya yang tahun lalu (2014) kebetulan meraih
piala Juri Prize pada ajang Anti
Corruption Film Festival (ACCFest) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Republik Indonesia. Produksi film di Gunung Rantemario ini sekaligus menjadi
episode pertama untuk tujuh film kami yang akan mengambil setting lokasi di
tujuh puncak tertinggi Indonesia.
Dari kiri: Aqiif, Indah, Wahyu.
Cast film.
Sequence
film Rantemario: The Summit of Love
malam ini sudah di Pos VII pendakian menuju puncak. Suhu Pos VII yang lebih
mirip freezer lemari es membuat
proses syuting sequence film yang
usai 30 menit lalu berjalan menantang, karena sekujur badan menggigil,
gemetaran.
Makin
malam, dingin di Pos VII makin menusuk kulit, apalagi jam di tangan seolah
bergerak slow motion (melambat).
Karena begitu ekstrim dinginnya, saya yang malam ini memilih setenda dengan
Andi, kru film, menjadi gelisah. Saya waswas pada kesehatan seluruh anggota
tim.
Bayangkan
saja, Dadang, kru lainnya, yang sudah melapisi badan dengan lima jaket masih
juga merasa kedinginan. “Jika memang ada yang akhirnya sakit, produksi film ini
tidak usah dilanjut,” kataku membatin di samping Andi yang sudah membungkus
badan dengan sleeping bag barunya,
meski saya tahu dia juga susah tidur.
Makin
malam, batinku makin gelisah. Yang terdengar sisa suara angin malam yang
menderu-menderu. Tak hanya soal kesehatan tim yang berjumlah 14 orang, di dalam
tenda, saya pun menjelajah imajinasi penikmat, pencinta, dan pengamat film yang
skeptis, yang kadang hanya menilai sebuah karya tanpa nama besar dengan
senyuman kecut. Saya membayangkan konstruksi imajinasi macam apa yang bisa saya
sampaikan dalam film ini nantinya, agar bisa diterima dengan baik oleh
khalayak.
Makin
malam, batinku makin tak karuan. Mataku tak kunjung redup. Padahal dua jam
lagi, dalam gelap hutan, kami harus meneruskan perjalanan ke puncak Rantemario,
puncak tertinggi Pulau Sulawesi. Kami harus tiba subuh di puncak agar dapat
merekam gambar matahari terbit dan suasana pagi pegunungan Latimojong.
Akhirnya
saya tiba pada titik pasrah. Apapun yang terjadi, tentang kondisi tim dan
lain-lain, saya sebagai penanggung jawab siap menanggung risikonya. Saya
memaksa ambisi dan mata untuk mengalah. Membebaskan diri dari belenggu.
Perjalanan
kru dari Baraka ke Dusun Karangan.
“Kak… kak… kak…,” kata Andi kasak kusuk bermaksud
membangunkan saya yang tertidur menyerupai huruf s. Saya berjingkat begitu
mendengar suaranya. “(Sudah) Jam setengah
tiga mi, kak."
Aneh
betul ketika hidungku mencium aroma puncak gunung, padahal saya masih bersama
Andi di dalam tenda. Kemudian terdengar sayup angin tiada henti. Cemas, perih,
dan linu di sekujur tubuh mendadak sirna. "Puncak…,”
desisku lalu membuka kancing sleeping bag.
Beberapa
saat kemudian saya merasa terbebas dari belenggu yang menahan kedua tangan dan
kaki untuk melanjutkan merekam rangkaian adegan film Rantemario: The summit of Love. Tiba-tiba saya telah berdiri di
depan tenda. Saya dan Andi beranjak ke tenda yang lain. Membangunkan seluruh
tim, termasuk Karim dan Erwin, porter dari Dusun Karangan, Desa Latimojong,
Enrekang, yang ikut membantu. Keduanya sekaligus menjadi penunjuk jalan.
Surat cinta dari Pak Naim
sekaligus menjadi surat tugas Erwin dan Karim sebagai porter.
Meski
dingin begitu menusuk kulit, akhirnya satu per satu terbangun. Tepat pukul
03.00 dini hari, saya, Andi, Erwin, Karim, Mashuri, Dadang, Sardi, Indah,
Aqiif, Yahya, Bayu, Wahyu, Ayu, dan Firman, sudah bersiap melanjutkan
pendakian. Kami hanya membawa barang secukupnya, seperlunya. Erwin memimpin
perjalanan.
Kami
mulai mendaki, melangkah pelan-pelan diterangi senter dan sedikit cahaya bulan.
Sayangnya, belum cukup sepuluh menit berjalan, salah seorang kru mengeluh. Ayu
mengaku sakit kepala dan tak sanggup berjalan.
Ayu, kru film dari KPA KAPALAPI
Makassar
Aneh
rasanya ketika pendaki wanita setangguh Ayu yang sudah lima kali mendaki Gunung
Rantemario menyerah menuju puncak. Setelah berdiskusi sebentar, saya sepakat
Ayu tinggal di tenda walau harus sendirian. Firman mengantar Ayu kembali ke
tenda dan memastikan memberinya obat sakit kepala. Ayu aman, kami melanjutkan
pendakian.
Meski
jalur dari Pos VII ke puncak tidak terlalu menukik, medan yang satu ini bukan
hal gampang untuk ditaklukkan. Berbeda dengan pendakian dari Dusun Karangan
hingga Pos VII yang mengandalkan stamina, di sini yang utama adalah mental.
Teledor atau sombong sedikit bisa berakibat fatal: tersesat ke puncak Nene Mori
atau ke puncak pegunungan Latimojong lainnya, bukan ke puncak Rantemario.
Baiknya, seluruh tim bisa tawadhu dan tahu diri.
Pada
akhirnya, tim tiba di puncak Rantemario, puncak tertinggi Pulau Sulawesi. Yang
pertama memeluk tugu triangulasi adalah Dadang, disusul Andi. Dadang hanya
butuh 30 menit dari Pos VII untuk mencapai puncak. Hebatnya lagi, ini adalah
pendakian pertamanya, dan ia menjadi orang pertama di antara kami yang
menginjakkan kaki di puncak. Ia berhasil mendahului Andi, satu-satunya anggota
tim yang sudah menjejakkan kaki di puncak Gunung Semeru, gunung tertinggi di
Pulau Jawa.
Akhirnya, kami di puncak.
Begitu
luar biasa rasanya bisa menjejakkan kaki di puncak tertinggi Pulau Sulawesi,
apalagi dengan membawa sebuah misi produksi film. Saya bisa merasakan bagaimana
bahagianya seluruh anggota tim. Padahal, tiga hari lalu kami masih di rumah, di
Makassar, dan masih bertanya pada diri masing-masing: "Apakah kami bisa sampai di puncak?” Dan, akhirnya, dengan keringat,
tenaga, dan kemauan yang besar, a dream
comes true, mimpi terwujud. Alhamdulillah.
Subuh di
puncak kami habiskan dengan saling bertukar cerita, barbagi tawa, menepuk-nepuk
bahu teman, melahap mie instan, makan sosis, minum teh, dan minum kopi hangat.
Walau stok rokok sudah menipis, nikmat di puncak tak ada duanya, tak bisa
dibayar dengan uang, apalagi ditukar dengan tabung gas kompor portable.
Usai
salat subuh di puncak tertinggi Pulau Sulawesi, puas berfoto, dan memandang
seksama rumput-rumput di puncak yang ditutupi es, kami menuntaskan sequence film Rantemario: The Summit of Love. Seluruh proses syuting kelar ketika
matahari sudah begitu terik dan persediaan air selama di puncak sudah habis.
Bersama
Ayu yang akhirnya menyusul ke puncak, kami pun kembali ke Pos VII, kemudian
bermalam di Pos V, sebelum menuju rumah singgah pendaki milik Pak Irmansyah
Aman yang baik hati di Baraka. Rumah keluarga Pak Muhammad Naim dan Macca Cafe
36 di Kota Enrekang juga kami singgahi sebelum kembali ke Makassar. Diantar
Amoi dengan mobil, kami tiba di Makassar dengan selamat. Sudah? Belum,
perjuangan belum usai, masih ada cerita perjuangan seru produksi film kami di
enam puncak tertinggi Indonesia berikutnya. Doakan ya!
All crew foto bareng. Pagi di Pos
V sebelum turun gunung.
****
*Check this out at Youtube:
Official Trailer Rantemario: The Summit of Love:
https://www.youtube.com/watch?v=DnecGukY1JE
Behind The Scenes Rantemario: The Summit of Love:
https://www.youtube.com/watch?v=tmUN6UKPIPU
SM Production Makassar | 2015
0 comments:
Posting Komentar