TAK KAN TERLUPAKAN...

Tim Pua Janggo', Bira

Beberapa menit lalu, saya menerima pesan di Messenger Facebook yang membuat kepala ini mengingat si "mantan" lagi. Pesan itu dikirim Aqsa, kawan saya di Bira, Bulukumba.

"Sidic, Masih Sering Main Bola Bro Hehehe." Begitu Aqsa menulis pesannya. Saya termenung lama membacanya sebelum membalas. Isi pesannya singkat, tetapi kata "main bola" itu yang membuatnya mengandung sejuta makna.
Sejak kecil sampai kuliah semester enam, hidup saya tak bisa jauh dari sepak bola. Dari pagi sampai pagi lagi, saya bermain bola. Ketika malam tiba, seusai mengaji, makan, salat isya, dan belajar sebentar, saya masih sempat menjugling bola dalam kamar lalu meletakkan bola itu di samping bantal. Makanya, saya membaca pesan dari Aqsa itu seperti seseorang yang baru saja menerima surat romantis dari mantan pacarnya yang telah bertahun-tahun pergi. Jangan salah paham! Yang saya maksud mantan di sini adalah sepak bola, bukan Aqsa.
Saya dan Aqsa berteman ketika sama-sama membela PS Pua Janggo', klub kebanggaan warga Bira, Bulukumba. Waktu itu saya baru masuk kuliah. Di Bulukumba, PS Pua Janggo' cukup terkenal karena selalu juara setiap berlaga. Saya ke Bira, selain karena lagi gila-gilanya main bola, saya ingin mencari "kehidupan". Saat duduk di bangku kelas III SMA, ayah wafat, makanya saya tidak sampai hati menambah beban ibu. Meski jumlah uang yang saya terima dari bermain bola tak banyak, tetapi itu sudah cukup membuat bahagia. Terima kasih untuk Arief (teman saya dari Mataram) yang sudah mengajak saya bermain bola dan mengenal teman-teman baru di Bira.
Saya bermain sebagai striker, Aqsa menjadi kiper--alasan kenapa ia dipanggil Aqsa Buffon (kiper andal Juventus). Sayang, saat itu, 2008, kami gagal masuk final dan satu gigi depan bawah saya patah setelah disiku pemain lawan waktu duel di udara. Akibatnya, saya terbaring beberapa menit di atas rumput sebelum ditandu keluar lapangan. Akhirnya, kami tertahan di babak semifinal, karena kalah adu penalti setelah Suaib, yang tampil sebagai penendang terakhir, gagal membobol gawang rival.
Seperti yang dirasakan Suaib, saya sebagai pemain "naturalisasi" dari Makassar sangat kecewa dengan hasil itu. Saya kecewa karena membuat seluruh warga Bira, yang datang menonton pertandingan itu, kecewa. Teman-teman setim, seperti Yudha, Adhe Bayor, Tasman, Ogi yang menaruh asa besar di pundak saya pasti lebih kecewa. Baiknya, mereka menerima hasil itu dengan lapang dada dan menilai usaha saya sudah maksimal. Malamnya, kami merayakan "kekalahan" dan melepas sesal di atas pasir putih Pantai Bira yang sejuk. Sampai sekarang, kenangan-kenangan itu yang membuat teman-teman di Bira masih menanggap saya sebagai sahabat. Terima kasih.
Ah, benar-benar, pesan Aqsa di Messenger membuat saya susah tidur. Masalahnya bukan karena sepak bola saja, tidak, tidak sesimpel itu. Pesan Aqsa itu membuat otak saya mereview perjalanan hidup saya sejak kecil.
Saya mengingat ketika di kampung, waktu masih duduk di bangku sekolah dasar, almarhum ayah dan ibu selalu melempar senyum dari jauh ketika saya mencetak gol. Saya juga ingat waktu saya menangis, merengek seharian di samping ibu karena minta dibelikan bola. Saya pun ingat betapa bahagianya saya ketika ayah menghadiahkan sepatu bola karena berhasil meraih ranking 1 di kelas. Atau, tentang persaingan panas kami saat itu yang sering berkelahi setelah bermain bola, mulai siang hingga azan magrib di masjid berkumandang. Udin, Rajab, Iwan, dan teman-teman kecil saya yang lain pasti akan tersenyum jika membaca ini. Ketika itu, jika kami menang, lawan akan marah kemudian memancing keributan. Sebaliknya, jika kami yang kalah, kami menganggap itu sebagai kemenangan yang tertunda, tanpa harus dinodai dengan perkelahian.
Waktu masuk SMP, saya dengan ikhlas menerima ajakan ayah bersekolah ke pesantren karena saya tahu di pesantren itu ada dua lapangan sepak bolanya, meski pada akhirnya saya "lari" dari sana lalu pindah sekolah. Masuk SMA, saya pun dengan ikhlas menuruti kemauan ayah menyekolahkan saya di Makassar karena saya diam-diam ingin bermain di Karebosi memakai seragam kebesaran PSM Makassar, walau pada akhirnya, ketika kesempatan itu datang, saya harus berdamai dengan cita-cita karena ibu menyuruh saya pulang kampung karena ia sedang sakit keras. Kehidupan sekolah saya, dari SD, SMP, SMA, hingga kuliah, nyaris sama: lebih fokus bermain bola daripada belajar di kelas atau seperti teman-teman lain yang setiap hari bersemangat mengejar cinta si gadis pujaan.
Saya juga sudah alami bagaimana serunya pertandingan sepak bola jika berakhir dengan kericuhan. Pengalaman itu saya dapatkan di Jeneponto. Waktu itu, tim yang saya bela menang 4-0, saya cetak dua gol di antaranya. Seusai bermain, ketika kami sedang asyik beristirahat di pinggir lapangan, mendadak pecah keributan di tengah lapangan. Dari jauh, saya melihat seorang pria dewasa membenturkan batu besar ke kepala pria dewasa lainnya yang tergeletak di depannya. Tak lama, seorang pria dewasa lainnya menusuk perut lawannya dengan badik kemudian berlari menyelamatkan diri ke rumah warga. Situasi saat itu sangat mencekam. Saya bahkan sampai harus dikawal polisi keluar dari kampung itu.
Hmmm... Masih banyak kisah-kisah saya yang terkait sepak bola. Apa mau dikata, space di blog ini tak akan muat jika saya menuliskan semuanya. Berdoa saja, mudah-mudahan ada "Aqsa" lain berikutnya yang juga mengirim pesan yang sama tentang saya dan sepak bola. (*)