DIPECUNDANGI REFAN

Malam ini, pukul 24.00, di sebuah warung kopi (warkop), saya bertemu Refan, gepeng 8 tahun. Kalau pagi, dia mengaku belajar di SD Inpres Bantabantaeng 1.

Awalnya, saya mengabaikan. Tetapi, karena mengucapkan salam berkali-kali, saya mengalah lalu menjawab salamnya. "Uang ta kak," mintanya memelas. Saya tak memberi.

"Siapa yang suruh ki datang, Refan?" Dia diam, membalas tak memberi jawaban.

Semakin lama, semakin saya bertanya, semakin Refan gugup dan menunduk. Saya mencoba mengambil simpatinya kemudian menasihati untuk belajar tidak meminta-minta.

Ilustrasi. (Foto: labsky2012b.blogspot.com)
Saya bilang, ayahnya Sirajuddin dan ibunya Ramlah, yang mesti mencari uang. "Di rumah mi saja belajar kalau malam, Refan."

Tak gampang berkomunikasi dengan anak dan gepeng seusia Refan. Di kepalanya hanya ada uang. "Uang untuk membayar buku sekolah." Begitu alasannya.

Lama bernegosiasi, Refan tersedu dan menitikkan air mata. Dia merasa kalah, karena saya bertahan untuk tidak memberi uang. Sebotol air mineral yang saya sodorkan ditolak.

Saya iba lalu mengajukan win-win solution. Memberinya tantangan tes membaca dan menghitung. "Kalau bisa ki jawab semua, saya kasih (uang)."

Refan setuju. Dia maju selangkah dan mulai membaca. Dia lulus tes pertama. Tes kedua juga begitu. Refan lancar menjawab lima soal perhitungan yang saya ajukan.

Refan menang. Dia pulang membawa uang dan sebotol air mineral yang saya tawarkan sebelumnya, sambil berjanji untuk tidak keluar malam lagi menjadi gepeng. "Iye kak, janji ka." (*)

https://plus.google.com/103295235161523615134/posts/WY1qCpr8nCV

0 comments: